Enam Perusahaan BUMN Hampir Ambruk, Dampak Pamdemi Covid-19

Menteri BUMN Erick Thohir

Mimbar Maritim – Jakarta

Akibat hantaman pandemi Covid-19, ada 6 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) besar hampir ambruk. Dalam rilis laporan keuangan pada semester I tahun 2020, ke 6 BUMN besar tersebut secara kinerja anjlok dan bahkan mengalami kerugian triliunan rupiah.

Hanya 10 persen perusahaan pelat merah saja yang masih bisa bertahan akibat pandemi ini.

Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, “Sekarang 90 persen bisnis yang ada di BUMN kena Covid-19. Hanya ada 10 persen (yang tidak terdampak),” dikutip Selasa (25/8/2020).

Ada 6 perusahaan BUMN besar yang kinerja bisnisnya terganggu selama pandemi Covid-19, dan bahkan ada 4 BUMN besar yang mengalami kerugian besar triliunnya rupiah.

Ke 6 perusahaan BUMN besar tersebut yaitu :

1. Pertamina. PT Pertamina (Persero) yang mengalami rugi bersih USD 767,92 juta, atau sekitar Rp.11,28 triliun pada semester I tahun 2020. Angka ini berbeda jauh dengan raihan laba bersih USD 659,96 juta pada semester I tahun 2019. Kerugian besar di di semester pertama tahun ini terjadi lantaran total penjualan dan pendapatan usaha lainnya terjun bebas 24,7 persen, yakni dari USD 25,54 miliar menjadi USD 20,48 miliar. 

Pendapatan perseroan semakin berkurang akibat pemerintah yang mengurangi setoran penggantian biaya subsidi ke Pertamina, dari sebelumnya USD 2,5 miliar menjadi USD 1,73 miliar. Pertamina juga mengalami kerugian kurs USD 211,83 juta, yang berbanding terbalik jika dibandingkan dengan selisih kurs tahun lalu yang untung USD 64,59 juta.

2. PLN. Selanjutnya, PT PLN (Persero) mengantongi laba bersih Rp.251,6 miliar di sepanjang semester I tahun 2020. Jumlah tersebut terkikis 96 persen dari periode serupa tahun sebelumnya yang sebesar Rp.7,3 triliun. Penurunan laba bersih itu terjadi lantaran rugi selisih kurs atau nilai tukar sebesar Rp.7,79 triliun. 

Padahal sebelumnya, perusahaan berhasil memperoleh laba selisih kurs Rp.5,03 triliun. Sementara itu, PLN masih mencatatkan pendapatan dari penjualan listrik yang naik 1,5 persen (Rp.1,96 triliun) menjadi Rp.135,41 triliun. Itu berkat tarif tenaga listrik yang tidak berubah sejak 2017.

Secara keseluruhan, PLN pada semester I 2020 membukukan pendapatan usaha Rp.139,78 triliun, meningkat 1,6 persen dibandingkan semester I 2019. EBITDA perusahaan tercatat senilai Rp.35,29 triliun dengan EBITDA Margin 21,4 persen.

3. Hutama Karya. PT Hutama Karya (Persero) mencatatkan penurunan tajam pada kinerja keuangan di semester I tahun 2020. Laba bersih perseroan tergerus 95,83 persen, turun dari Rp.1,10 triliun pada semester I tahun 2019 menjadi Rp.46,13 miliar. Terpuruknya laba bersih Hutama Karya salah satunya dipicu pembengkakan biaya keuangan, yakni dari Rp.148,90 miliar di semester I tahun 2019 menjadi Rp.992,03 miliar pada 6 bulan pertama tahun ini. 

Liabilitas atau utang perseroan secara tahunan atau year on year (yoy) juga membesar 20,70 persen menjadi Rp.82,90 triliun. Di sisi lain, pendapatan BUMN di sektor infrastruktur ini masih menguat tipis, dari Rp 7,75 triliun di semester I 2019 menjadi Rp.7,78 triliun di semester I 2020. Beban pokok pendapatan juga meningkat dari Rp.6,44 triliun menjadi Rp.6,58 triliun.

4. Angkasa Pura I. Di sektor perhubungan, di bidang penerbangan PT Angkasa Pura I merugi di Semester pertama tahun ini. Sepanjang semester I tahun 2020, PT Angkasa Pura I tergatat merugi Rp.1,16 triliun. Angka tersebut berbanding terbalik dengan periode serupa tahun sebelumnya, yang masih membukukan laba bersih Rp.719,27 miliar.

5. Angkasa Pura II. Nasib sama juga dialami Angkasa Pura II yang merugi Rp.838,26 miliar pada semester I tahun 2020. Pencapaian tersebut bertolak belakang jika dibandingkan pada semester I tahun 2019, yang masih mencetak laba bersih Rp.363,17 miliar.

6. Garuda Indonesia. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengalami kerugian besar di paruh pertama tahun 2020, yakni sebesar USD 712,73 juta atau setara Rp.10,40 triliun (kurs Rp 14.600 per dolar AS). Kondisi ini berbanding terbalik pada semester yang sama tahun lalu, dimana maskapai masih memperoleh untung USD 24,11 juta. 

Anjloknya laba bersih tersebut sejalan dengan turunnya pendapatan usaha untuk penerbangan berjadwal dan tak berjadwal, yakni dari USD 2,19 miliar di semester di tahun 2019 menjadi USD 917,28 juta pada semester pertama tahun ini. 

Utang perusahaan juga membengkak dari USD 3,74 miliar di paruh pertama tahun 2019 menjadi USD 10,37 miliar di semester I tahun 2020. Sementara arus kas Garuda Indonesia juga terpangkas hingga 48,6 persen menjadi USD 165,41 juta.(Editor – Ody)

Penulis : Herijanto Direktur Eksekutif Himpunan Masyarakat Peduli Maritim

Tinggalkan komentar